Sukriansyah S Latief: Dokter Kita

By Admin

Foto/Sukriansyah S Latief   

Oleh: Sukriansyah S Latief  

KEJENUHAN di atas pesawat selama satu setengah jam penerbangan dari Saigon, Vietnam, langsung menguap begitu menapaki karpet beludru bandara yang empuk. Bersama seorang sahabat, Daeng Ramma, yang punya impian selalu week end di kota-kota dunia, saya menyeret Polo Bag dan ransel di punggung yang tidak begitu berat.

Entah sudah berapa kali saya menjejakkan kaki di bandara yang megah dan mewah ini. Changi Airport, Singapura. Kali ini, minggu ketiga bulan lalu, sengaja saya mampir semalam untuk membezuk seorang teman yang dirawat di Singapura General Hospital setelah dibenahi rongga hidungnya yang mengidap sinusitis cukup lama.

Suguhan kenyamanan dan ketertiban yang disodorkan negara Singa ini, membuat saya tidak begitu menyimak apa keinginan sopir taksi yang sudah mulai renta namun masih ramah dan komunikatif. Dalam Bahasa Inggris dialek Melayu, dia bertanya tujuan kami. ‘’Changi General Hospital or Singapura General Hospital?’’ katanya.

Saya tak ambil peduli, toh, ada Daeng Ramma, yang akan menjelaskan, meski saya tahu bahasa Inggrisnya amburadul. Saya lebih suka menikmati jalan di sini yang lebar namun tidak padat. Teduh diapit pepohonan nan hijau, serta gedung-gedung yang mewah yang tidak terlalu menukik langit.

Tapi saya selalu saja bertanya dalam hati, kok negeri ini begitu sepi dari orang-orang yang berseliweran. Jadinya, kesan yang selalu muncul setiap saya datang ke sini, ya, hati saya terasa tenteram. Dan sahabat di samping saya ini pun mengarahkan sopir taksi menuju Singapura General Hospital Blok V, setelah mengontak istri teman yang sakit, yang kini kami panggil suaminya, Mr. Ambassador. Saat membezuk teman inilah, cerita tentang dokter kita mengalir.

Saya mencoba menanyakan perihal pilihannya dioperasi di Singapura, bukan di Indonesia saja, karena saya tahu sebelumnya dia pernah dioperasi di Metropolitan Medical Centre (MMC), Jakarta. ‘’Uki, dokter kita itu memang jago-jago, peralatan juga sudah canggih, tapi perhatiannya kurang,’’ begitu kira-kira katanya, klise. Dalam hati saya bilang, ah, iya, karena bapak punya banyak uang. Dan ketika kami mau pamit, ternyata Mr Ambassador malah mengajak kami ‘ngopi’ di Starbuck, Mall Paragon, padahal di bawah hidungnya masih ada tampon. ‘’Ah, di Indonesiaji itu dokternya bikin takut-takut, tidak apa-apa,’’ jelasnya meyakinkan saat saya pertanyakan keinginannya ‘kabur’ dari rumah sakit. Sekali lagi,dalam hati saya bilang, gambang memang tong ini teman. 

Foto/Sukriansyah S Latief  

Pekan lalu, usai melakukan perjalanan panjang, Vietnam, Singapura, Jakarta, Makassar, Surabaya, dan Ambon, saya mencoba ke dokter (di Makassar) untuk memeriksa kesehatan. Di sinilah cerita tentang Mr Ambassador kembali teringat. Saat melihat jumlah pasien dokter malam itu di buku pendaftaran, saya terperangah, hampir 80 orang.

Pertanyaan saya saat itu, bagaimana seorang dokter bisa memeriksa dengan baik bila jumlah pasiennya sebanyak itu, hanya dalam waktu beberapa jam, belum lagi saat Maghrib dia istirahat sampai pukul 19.30. Jangan lagi tanya soal pelayanan dan fasilitas.

Puluhan pasien, termasuk kakek dan nenek-nenek, terpaksa duduk di ruang yang sempit, bahkan ada yang duduk di garasi pinggir jalan. Sebagian malah tidur di kursi dipangku keluarganya. Saya pun bertambah kaget, ketika masuk ke ruang praktek dokter, setelah 2 jam lebih antre.

Di ruang yang hanya berukuran sekitar 4x5 m, ada 10 orang. Dua pasien di atas tempat tidur, dua sedang berhadapan dengan dokter, seorang asisten dan staf dokter, selebihnya keluarga pasien. Betapa sumpek dan riuhnya ruang praktek itu. Dalam hati saya berkata, betul juga si Mr Ambassador itu. Bagaimana si dokter ini bisa memberikan perhatian dan pelayanan yang baik, bila belum selesai satu pasien, yang lain sudah menunggu di dalam ruang yang sama.

Hampir tak ada waktu untuk berkonsultasi, apalagi untuk melihat riwayat sakit sang pasien. Semua serba buru-buru. Resep pun tinggal terima, seolah tak ada waktu untuk menanyakan jenis obat dan kegunaannya. Sepertinya tak enak bertanya-tanya, sementara pasien di samping kita juga sudah menunggu, belum lagi dua pasien yang telah terbaring di atas ranjang. Apalagi di luar ruang praktek, jangan ditanyalah. Dan ini, bisa diperparah bila sang dokter juga masih harus menerima mahasiswanya, atau juga detailer obat. Lengkaplah sudah penderitaan sang pasien.

Mereka yang sakit-sakit sedikit, bisa jadi sakitnya malah parah, karena tensinya naik. ‘’Hehehehe,’’ teman saya tertawa saat saya ceritakan. ‘’Itu masih lumayan, ada dokter yang daftar antrenya sampai 100,’’ lanjutnya. Kita tentu tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada dokter, bila jumlah pasiennya bejibun. Itu mungkin karena pasien sakit di Makassar khususnya sangat dokter minded, bukan rumah sakit minded.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Artinya, bila ia menderita suatu penyakit, maka mesti si dokter A yang memeriksanya, bukan dokter B. Tidak sah rasanya kalau bukan si A. Maka di manapun si A praktek, maka di situ pasien akan datang, meski harus antre berjam-jam. Ini tentu beda dengan di Singapura, pasien datang ke rumah sakit, siapapun dokternya, tidak masalah, karena dia akan mendapat pelayanan yang terbaik. Kira-kira seperti iklan minuman Teh Sosro: Apapun makanannya, minumannya tetap Teh Sosro. Masalahnya kita di Makassar, dokter-dokter seperti itu sibuknya bukan main, sehingga jarang berada di rumah sakit.

Kalau pun dia ada di rumah sakit, waktunya sangat kasip, karena dia juga bertugas di tempat lain, dan ini bisa sampai 8-10 rumah sakit atau tempat praktek, Masya Allah. Belum lagi kalau dokter ini dosen yang harus mengajar, aktivis organisasi, dan lain-lainnya. Pertanyaannya, masih sempatkah sang dokter mempelajari jenis penyakit dan riwayat pasien? Kondisi pasien? Jangan-jangan, pasiennya pun sudah dilupa, apalagi sakit yang diderita. Ini juga sering kita jumpai saat visite. Biasanya didampingi asistennya atau suster, sang dokter menyambangi pasien. Waktunya sangat singkat, tanya ini dan itu, lalu pergi. Sepertinya hanya sebuah rutinitas. 

Perihal resep dan obat sepertinya melengkapi derita pasien. Hampir di semua resep, jenis obat bahkan mereknya sudah tercantum, seolah itulah yang mesti dibeli oleh pasien. Apalagi di hampir semua tempat praktek, selalu ada apotek di sampingnya. Sesungguhnya ini tidaklah menjadi soal, karena bisa memudahkan pasien mendapatkan obat.

Tapi bila merek obat sudah ditentukan, yang harganya tentu bisa berbeda dengan obat yang ditulis, ini bisa menjadi dilema bagi pasien. Idealnya, tentu pasien berharap obat yang direkomendasi adalah yang termujarab, dan tentu yang murah. Tapi mungkinkah? Apalagi, bukan hal yang bisa ditutup-tutupi, bagaimana kedekatan dokter dengan perusahaan farmasi atau dengan detailer. Bagaimana dokter-dokter itu bisa di service, mulai dari tiket, penginapan, sampai kendaraan, bila mereka ke luar kota, bahkan ke luar negeri, seperti saat mengikuti seminar-seminar atau semacamnya.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Sesungguhnya ini pun tak masalah, seandainya dokter itu tak terpengaruh saat menulis resep. Tapi munginkah? Ini juga bisa terjadi antara dokter dan klinik tempat general check up. Dalam pengantar yang diberikan, di situ sudah ada kop surat klinik yang akan dituju. Tak ada penyampaian, kita bisa memilih di klinik mana kita bisa melakukan pemeriksaan. Ini tentu bukan keharusan, tapi mana ada pasien yang berani ke tempat lain, selain tempat yang ada di surat tersebut. 

Beberapa hari lalu, sengaja saya dan teman lain mengundang seorang teman yang juga dokter, untuk sekadar kongkow-kongkow di Black Canyon. Tanpa bermaksud membantah kondisi di atas, dia menegaskan bukanlah seorang dokter yang mengejar setoran. Dan ini, kata dokter yang lain yang saya temui di rumahnya, cukup banyak. Ada dokter yang membatasi jumlah pasien, jumlah operasi dengan membaginya kepada dokter lain.

‘’Saya mengutamakan pelayanan dan perhatian pasien. Pasien kan raja,’’ katanya. Seandainya, banyak dokter seperti dua dokter yang saya temui itu, tentu pasien-pasien kita sangat bersyukur. Tapi kalau sebaliknya, tentu bisa menjadi alasan banyaknya orang yang mampu secara finansial, untuk pergi berobat ke luar Makassar, bahkan ke luar negeri.

Meski, banyak juga para pejabat kita yang pergi berobat ke luar negeri, hanya karena dibiayai negara. Bahkan sekadar untuk general check up, sang pejabat ‘terbang’ bersama keluarganya, sekalian liburan atau shopping. Apa yang salah di negeri ini?***

Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior